KOMPAS.com - Pada puncak kemarau 2019, sejumlah daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Kondisi tersebut terjadi sepanjang Agustus hingga September tahun 2019.
Hal tersebut membuat Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas menyiagakan segenap sumber daya pencegahan karhutla ke beberapa wilayah konsesi, seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi hingga sebagian Kalimantan.
Meski begitu, Regu Pemadam Kebakaran (RPK) tak hanya bertugas pada areal konsesi. Karena api tidak boleh dibiarkan, setidaknya jarak 5 kilometer di luar konsesi masih menjadi ruang aksi mereka.
Sinar Mas menyiapkan penanggulangan kebakaran secara terintegrasi atau dikenal dengan Integrated Fire Management (IFM).
Baca juga: Ini Wujud Nyata Kepedulian Sinar Mas terhadap Lingkungan
Cara tersebut terdiri dari aspek pencegahan, persiapan, deteksi dini dan respons. Jadi, bukan hanya elemen pemantauan, pencegahan dan pemadaman saja yang hadir di lokasi, namun juga para petugas medis.
Priselia merupakan salah satu sosok petugas medis yang memiliki kapasitas, niatan, dan kerelawanan.
Priselia yang kesehariannya bertugas di Eka Hospital Pekanbaru, Riau, bersedia berkeliling menyambangi tiap Pos Komando Pemadam Kebakaran Hutan, di Kawasan Tanjung Jabung Timur, Jambi.
“Sebetulnya ada beberapa dokter lain, tetapi kebetulan saya yang lokasinya paling dekat,” kata Priselia, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Baca juga: Riau Bakal Hadapi Kemarau Panjang, TNI Gunakan Alat Canggih Atasi Karhutla
Priselia pun bercerita tentang pengalamanannya ketika bertugas pada musim kemarau 2019 lalu.
“Setiap harinya kurang lebih 10 petugas ( pemadam kebakaran) yang saya periksa. Saya selalu membekali mereka dengan vitamin tambahan,” kata Priselia.
Pada hari-hari itu, Priselia bergelut dengan asap kebakaran hutan. Masker pun selalu siaga menemaninya kala asap menusuk pernapasan.
“Kami kerap meminta tambahan obat-obatan dan oksigen portabel. Asap pekat menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang. Petugas lapangan mudah pusing,” kata Priselia.
Baca juga: Cegah Karhutla, Wilayah Riau Harus Dapat Perhatian Serius
Kurang lebih enam bulan Priselia habiskan di sana. Selama itu pula aktivitasnya diisi dengan naik turun ambulans dan melakukan pemeriksaan dari tenda ke tenda.
Jelang pukul 21.00 atau 22.00, barulah Priselia mendapat kesempatan beristirahat.
Pada keadaan dan waktu yang sama, di Baung, Sumatera Selatan, Irma (28), Dwi (25), dan Putri (22), juga menembus hutan guna memeriksa kesehatan para petugas pemadam kebakaran.
“Saya belajar solidaritas, kekompakan, dan semangat dari mereka,” kata Irma.
Baca juga: Kekeringan, Tim Satgas Kesulitan Padamkan Karhutla di Kabupaten Siak
Irma bercerita, setelah diperiksa umumnya para petugas pemadam kebakaran meminta salep obat gatal.
“Biasanya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menyerang mereka. Kami juga bekali dengan obat luka bakar dan gatal," kata Irma.
Kelangkaan air bersih, lanjut Irma,membuat mereka tidak mandi berhari-hari. Alhasil pakaian basah bercampur keringat yang mereka terus digunakan membuat badan gatal.
Irma pun mengaku, dirinya sering berdoa agar hujan segera turun, menggantikan peluh petugas yang sudah berhari-hari memadamkan api tanpa kenal lelah.
Sementara itu, Putri juga memiliki cerita dari kerelawanannya saat karhutla.
Baca juga: Badan Restorasi Gambut Sebut Riau dan Aceh Waspada Karhutla
Di sana, terkadang jalur darat tidak tersedia sama sekali. Padahal, petugas pemadam kebakaran harus bersiaga sehingga tidak bebas berpindah dan meninggalkan lokasi.
Jadilah para petugas medis yang aktif mendatangi mereka. Tim medis pun harus menggunakan jalur air, melintasi sungai atau kanal dengan perahu motor.
Putri bercerita, dirinya pernah menempuh sekian kilometer menumpang ketinting, sebutan warga setempat bagi perahu kayu bermotor.
Namun tiba-tiba, di tengah perjalan petugas pemadam kebakaran yang mendampinginya mendapat panggilan radio untuk membantu pemadaman.
Baca juga: Menteri LHK Siti Nurbaya Bertemu Mahfud MD, Bahas Persiapan Rakornas Karhutla
“Petugas naik ke hutan yang terbakar. Mereka bilang, Putri ini ada golok. Gunakan kalau diperlukan. Kami harus bantu pemadaman terlebih dahulu,” kata Putri.
Putri yang berada seorang diri di kawasan bekas terbakar pun cemas karena tidak tahu kapan akan dijemput.
“Saya menangis. Cemas dan tidak tahu apa yang harus dilakukan karena hampir dua jam menanti mereka,” kata Putri.
Namun setelah semua yang dilalui, Irma, Intan, dan Putri, justru mereka mengaku tidak kapok dengan aktivitas tersebut.
Ketiganya malah merasa tertantang untuk kembali merasakannya.