KOMPAS.com - Zaman sekarang, siapa anak muda yang masih bercita-cita menjadi petani? Pertanyaan ini bukan omon-omon klise, tetapi sudah menjadi kenyataan.
Faktanya, minat petani muda di Indonesia kian merosot. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Sensus Pertanian pada 2023 menunjukkan, jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP) turun 7,45 persen dalam satu dekade terakhir.
UTP atau unit usaha pertanian yang dikelola satu orang di Indonesia pada 2023 sebanyak 29.342.202 unit, menurun dari 31.705.295 unit pada 2013.
Lebih memprihatinkan, dari jumlah petani yang ada, hanya sekitar 21,93 persen yang termasuk dalam kategori usia milenial. Sisanya didominasi petani lanjut usia (lansia). Artinya, dalam 10-15 tahun mendatan, lebih dari separuh petani Indonesia akan pensiun.
Di sisi lain, sektor pertanian juga menghadapi tantangan lain, yakni meningkatnya alih fungsi lahan ke sektor industri, perumahan, dan infrastruktur, terutama di Pulau Jawa.
Baca juga: Petani Muda Kian Tergerus, FAO Dorong Lewat Program Petani Keren
Kondisi itu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah yang menargetkan swasembada pangan, khususnya beras.
“Masalah pangan adalah masalah kemerdekaan. Masalah pangan adalah masalah survival kita sebagai bangsa. Jika kita ingin menjadi negara maju, pangan harus aman dulu,” kata Presiden Prabowo Subianto, melansir ksp.go.id, Senin (3/2/2025).
Lalu, bagaimana mencapai tujuan itu jika jumlah petani terus menurun dan regenerasi petani berjalan lambat?
Berbagai studi dan ulasan pengamat menyebutkan sejumlah alasan mengapa anak muda enggan terjun ke sektor pertanian, salah satunya adalah inefisiensi alur pekerjaan yang masih sangat mengandalkan cara-cara manual dan tradisional.
Hal itu terlihat dari Sensus BPS pada 2023 yang menemukan bahwa 53,16 persen petani di Indonesia belum menggunakan alat mesin pertanian (alsintan) modern atau teknologi digital.
Baca juga: Menilik Sulitnya Regenerasi Petani Kopi, Apa Solusinya?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Bustanul Arifin menyatakan, penelitian Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menyebutkan, rendahnya produktivitas pertanian karena terlambat dalam mengadopsi teknologi dan inovasi.
Padahal, teknologi pertanian bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas sehingga dapat meningkatkan daya saing produk.
”Kalau tidak ada terobosan teknologi, dengan total factor productivity (TFP) yang negatif itu, kita (Indonesia) punya masalah besar. Kedaulatan pangan bisa terganggu,” kata Bustanul, mengutip Kompas.id, Senin (1/12/2020).
Percepatan adaptasi teknologi tidak hanya diperlukan untuk menghadapi produktivitas, tetapi juga regenerasi daya manusia (SDM) pertanian.
Dosen Fakultas Petanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Alia Bihrajihant Raya, petani muda bisa membawa angin segar dengan menerapkan kecanggihan teknologi pertanian.
Baca juga: Petani Milenial dan Melambatnya Regenerasi Petani Indonesia...
“Pertanian tidak lagi mempunya citra kotor, penuh risiko, dan sulit. Bantuan internet, aplikasi/alat, dan bio-teknologi akan memudahkan usaha tani,” katanya melansir faperta.ugm.ac.id, Rabu (18/10/2025).
Pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dwi Apri Nugroho mengatakan, pemanfaatan inovasi dan teknologi-teknologi di dunia pertanian sangat membantu menaikkan minat anak muda masuk ke dunia pertanian.
Pasalnya, generasi muda lebih menyukai pendekatan berbasis teknologi dan keberlanjutan. Teknologi juga mampu meningkatkan efisiensi dan hasil produksi.
"Sebagai contoh penggunaan drone. Kalau selama ini penggunaan drone hanya digunakan untuk foto-foto atau mendokumentasikan suatu kegiatan," ujarnya melansir Kompas.com, Kamis (11/1/2024).
Untuk menjawab krisis regenerasi, pemanfaatan inovasi dan teknologi pertanian disebut mampu menarik minat generasi muda.
Baca juga: Menilik Manfaat Besar Air dan Alsintan dalam Pertanian...
Sejumlah negara maju telah membuktikan kesuksesan mereka lewat penerapan teknologi dan digitalisasi pertanian.
Belanda, misalnya, berhasil menjadi salah satu eksportir pangan terbesar dunia meski jumlah petaninya relatif sedikit.
Kunci keberhasilan negara dengan lahan terbatas itu adalah efisiensi tinggi melalui pemanfaatan rumah kaca otomatis, robot pemanen, dan sistem pertanian presisi berbasis data.
Teknologi canggih tersebut memungkinkan praktik precision farming, yakni metode pertanian yang mengoptimalkan produksi dengan memantau kondisi tanah, cuaca, hingga kesehatan tanaman.
Dengan teknologi, petani muda dapat lebih mudah mengatasi keterbatasan waktu, tenaga, dan risiko kehilangan hasil panen.
Baca juga: Modernisasi Pertanian: Dari Alsintan, Konsolidasi Lahan, hingga Literasi Digital
Sebagai contoh, combine harvester mampu memotong batang tanaman, merontokkan biji dari tangkai, sekaligus membersihkannya hingga terpisah dari batang, seperti gabah pada padi. Alat ini membuat panen lebih cepat, bersih, dan minim kehilangan hasil.
Pekerjaan panen yang biasanya membutuhkan waktu berhari-hari bisa diselesaikan hanya dalam beberapa jam.
Contoh lain adalah Harfia XCT-110 Max, traktor modern bertenaga mesin diesel 110 HP yang mampu mengolah lahan hingga 2,45 hektar (ha) per jam.
Dengan sistem track karet antiselip, traktor hemat bahan bakar ini dapat melintasi berbagai kondisi sawah, mulai dari berlumpur hingga tanah berat.
Lewat teknologi itu, petani muda bisa membajak lahan hingga lima kali lebih cepat dibanding cara manual, dengan tenaga dan waktu yang lebih efisien.
Baca juga: Harfia Bantu Percepatan Program Swasembada Pangan di Indonesia
Pada akhirnya, bukan hanya soal mesin, tetapi juga bagaimana teknologi pertanian mampu menjadi harapan anak muda untuk memajukan sektor pertanian dan mewujudkan swasembada pangan.